Notification

×

Kasus Blok 12 Cipare Pancawati, Lahan Petani Terancam, Kemunculan Sertipikat PRONA jadi Sorotan

Senin, 08 September 2025 | 15.39.00 WIB
Foto: Dok. (Info news) Jana Raharja petani Kampung Cipare Desa Pancawati kaget lahan pertaniannya yang ia garap selama puluhan tahun di sertipikatkan orang lain (Photo istimewa).

INI BACA | BOGOR - Sengketa lahan di Blok 12 Kampung Cipare Desa Pancawati Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor, kembali mencuat. Dikutip dari Infonews-TV.com Lahan seluas sekitar 3,1 hektare sejak 2001 yang digarap seorang petani Jana Raharja, pada tahun 2016 terbit Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama pihak lain melalui Program Sertipikat Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA).

Dari catatan yang ada, sertipikat yang dipermasalahkan tercatat dengan nomor SHM 00965, 00966, 00968, dan sebagian dimasukkan ke SHM 00964. Kondisi ini memunculkan dugaan penyimpanan administrasi, dan semakin memperpanjang persoalan agraria di wilayah Pancawati.

Jana Raharja mengaku telah mengelola lahan tersebut sejak 2001 untuk bercocok tanam sayuran, seperti buncis, kol, tomat, cabai, bawang daun, hingga kacang panjang.

" Tanah ini saya buka sendiri, kemudian bertahap saya beli dari warga sekitar, sampai sekarang saya yang mengelolanya, sertipikat itu cacat karena tanahnya jelas milik saya," ujar Jana kepada awak media, Senin (8/9/2021).

Sejumlah saksi turut memperkuat klaim Jana. ES (Nama jelas ada di redaksi) Mantan tim pelaksana PRONA 2016 menegaskan, bahwa sejak awal lahan blok 12 memang digarap Jana.

" Tidak pernah ada Jamaludin, Nining, ataupun Sugandi dilokasi itu, kalau nama mereka muncul di sertipikat, itu patut dipertanyakan," terangnya.

Hal senada disampaikan Ajid, warga yang bertetangga dengan lahan tersebut. Ia menegaskan sejak 2001 hingga kini, tanah itu tidak pernah berpindah tangan.

" Saya tahu betul, karena pernah ikut menggarap di blok itu, dari dulu sampai sekarang ya Jana yang menguasai," tegasnya.

Ironisnya salah satu nama yang tercantum dalam sertipikat, Jamaludin mengaku tidak pernah mengajukan program PRONA. Ia menduga identitasnya dicatut.

" Saya hanya dibawa ke notaris oleh Pak MDM, disuruh tanda tangan beberapa berkas tanpa mengetahui isinya, lalu dikasih uang Rp. 2 juta, saya tidak pernah menggarap tanah itu, apalagi menjualnya," ungkap Jamaludin.

Aliansi Petarung, kelompok advokasi dibidang pertanahan, menilai kasus Blok 12 tidak hanya persoalan kepemilikan, tetapi juga menyangkut perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

" Ada dugaan kuat terjadi alih fungsi lahan yang melanggar UU Nomor 41 tahun 2009 tentang LP2B dan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Aparat wajib menghentikan pembangunan dan mengusut dugaan penyalahgunaan identitas," tegas Perwakilan Aliansi Petarung (Nama jelas ada di redaksi).

Sementara itu Agraria Institute menyoroti indikasi maladministrasi dalam penerbitan sertipikat PRONA. Menurut lembaga ini, sertipikat tidak bisa menjadi sumber hak bila lahir dari data yang cacat.

" Sertipikat bisa dibatalkan demi kepastian hukum, apalagi bukti penguasaan riil Jana Raharja sejak 2001 sangat jelas," kata seorang ahli administrasi pertanahan dari lembaga tersebut.

Lebih jauh Lembaga tersebut mengingatkan potensi tindak pidana, bila benar terjadi pencatutan identitas, dan pemalsuan dokumen.

" Ini dapat dikategorikan sebagai pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam pasal 263 dan 264 KUHP. Aparat harus menindaklanjutinya," tegasnya.

Hingga berita ini dinaikan. Pemerintah Desa Pancawati maupun BPN Kabupaten Bogor belum memberikan keterangan resmi. Warga mendesak agar Pemerintah meninjau ulang sertipikat yang dipersoalkan, serta memberikan perlindungan hukum bagi penggarap sah.

Kasus Blok 12 Cipare menjadi cermin nyata bahwa sengketa agraria bukan hanya perkara administrasi, melainkan menyangkut hak konstitusional petani atas tanah garapannya.

(Red)